SaatBelanda di Indonesia, hal pertama yang dilakukan Belanda adalah melakuakan Politik Adu Domba atau Devide et Impera, yaitu melakukan Adu Domba pada kerajaan yang berdiri di Nusantara sehingga mereka mengalami perpecahan dan Belanda dengan mudah menguasai wilayah tersebut. Saat Belanda di Indonesia, Belanda juga menerapkan sistem tanam paksa
Belandapernah melakukan politik adu domba di nusantara, yaitu antara. - 39580012 CallistaYosmiPhan CallistaYosmiPhan 15.03.2021 IPS Belanda pernah melakukan politik adu domba antara → Raja Gowa Sultan Hasanuddin dengan Raja Bone (Aru Palaka). maaf kalau salah ya kak.
Soal3: Jelaskan strategi yang dilakukan pemerintah kolonial untuk menguasai daerah-daerah di Indonesia! Jawaban: Pemerintah kolonial menerapkan politik Devide et Impera untuk menguasai daerah-daerah di Indonesia. Devide et Impera adalah politik adu domba yang dilakukan untuk memecah persatuan dan kesatuan masyarakat pribumi Nusantara.
Politikdevide et impera atau politik adu domba adalah strategi yang digunakan Belanda untuk melemahkan kekuasaan-kekuasaan kerajaan di Indonesia agar mendapatkan keuntungan yang besar.Salah satu kerajaan yang diadudomba oleh VOC adalah kerajaan Banten. Strategi yang dilakukan VOC untuk menaklukan Banten adalah devide et impera (politik adu domba).
POLITIKADU DOMBA NUSANTARA @hepiandibastoni Politik adu domba juga pernah dilakukan di Nusantara. Ratusan tahun sebagian wilayah NKRI berhasil dijajah Belanda dengan politik adu domba. Devide et
9JLI. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID IPgjBiECA5Raa7G8-JU2RB83uabumgHAk49U677A6M0Lu1LO9xlkXQ==
Pada dasarnya politik pecah belah ialah strategi dari kombinasi aspek politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Kemudian dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Awalnya, politik pecah belah ini merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa barat di daerah-daerah koloninya, namun seiring dengan berkembangnya waktu metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik. Kolonialisme dan imperialisme Belanda telah berhasil menggunakan sistem politik pecah belah ini untuk menguasai wilayah Nusantara. Strategi politik ini sukses memecah belah masyarakat Nusantara dan mengantarkan Belanda menguasai wilayah Nusantara. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, masyarakat Indonesia memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang beragam. Keberagaman ini memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik pecah belahnya, dengan melalui, propaganda, fitnah dan segala upaya untuk memecah belah dijalankan oleh Belanda. Dengan demikian, jawabannya adalah politik pecah belah.
Ilustrasi. – Politik adu domba telah terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Bangsa penjajah saat itu menamakannya sebagai devide et impera. Ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah penjajahan Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi. Politik adu domba digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia. Secara prinsip, praktik politik adu domba adalah memecah belah dengan saling membenturkan mengadu domba kelompok besar yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan. Tujuannya adalah agar kekuatan tersebut terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak berdaya. Dengan demikian kelompok-kelompok kecil tersebut dengan mudah dilumpuhkan dan dikuasai. Unsur-unsur yang digunakan dalam praktik politik jenis ini adalah; 1. menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah terbentuknya sebuah aliansi yang memiliki kekuatan besar dan berpengaruh, 2. memunculkan banyak tokoh baru tokoh boneka? yang saling bersaing dan saling melemahkan, 3. mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat, 4. mendorong konsumerisme yang pada akhirnya memicu timbulnya KKN korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara asalnya Belanda, politik devide et impera sudah lama tak digunakan lagi. Belanda saat ini saat menjunjung tinggi hak asasi manusia HAM. Namun justru di Indonesia politik itu nampaknya masih membekas dalam dan masih saja digunakan. Apalagi setelah era reformasi yang oleh banyak pihak dinilai salah kaprah. Legislatif seperti berlawanan dengan eksekutif, partai A saling melemahkan partai B, begitu sebaliknya dan seterusnya. Padahal justru seharusnya saling bekerja sama dan saling memperkuat dan melengkapi. Siapa saja bisa dijadikan domba aduan, dari warga masyarakat biasa sampai warga kelas atas bisa jadi objek sasaran. Sesama pedagang bisa dipicu perpecahan, gara-gara masalah kecil bisa berkembang menjadi konflik yang besar. Perbedaan agama, suku dan sebagainya bisa memunculkan percikan api konflik yang bila diberi bensin segera berkobar menjadi konflik besar. Kita sudah banyak melihat buktinya terjadi sehari-hari. Media massa seperti bertepuk tangan dan seolah-olah ikut memberi semangat melihat kejadian ini. Inikah yang dimaksud dengan reformasi dan demokrasi? Dalam politik adu domba, konflik sengaja diciptakan. Perpecahan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa menentang penjajah imperialisme, entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai, kelompok di masyarakat, dan sebagainya. Pihak-pihak atau orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan, mereka yang tidak bersedia bekerja sama, segera disingkirkan. Ketidakpercayaan terhadap pimpinan atau suatu kelompok sengaja diciptakan agar pemimpin atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya tidak hanya ketidakpercayaan, bahkan permusuhan pun sengaja disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Praktik seperti itu tumbuh subur saat ini. Di zaman penjajahan Belanda, mereka menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan. Alhasil saat itu tidak muncul sebuah kerajaan yang besar dan kuat. Di tengah masyarakat kita dewasa ini, di tengah era informasi yang sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi tontonan sehari-hari. Kita secara vulgar disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan isu, disadari atau tidak, dilakukan sedemikian rupa untuk saling menghancurkan. Di era merdeka dan modern seperti saat ini, tentu kita tidak ingin dijadikan domba aduan oleh siapapun dan pihak manapun. Imperialisme maupun neo imperialisme, tidak boleh lagi menjadi raja di negeri yang kita cintai ini, apalagi di Sumatera Barat negeri asal penggagas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Password untuk mengatasi masalah ini sama dengan yang kita gunakan saat mengusir penjajah Belanda dulu, yaitu persatuan dan kesatuan. Mari bersatu menghimpun kekuatan bersama, jangan mau dinina-bobokkan dan lalu diadu domba. Indonesia adalah negara besar dan memiliki potensi yang besar. Dengan kesatuan dan persatuan, insya Allah kita capai kejayaan bersama dalam waktu singkat. Aamiin. Redaktur Lurita Putri Permatasari Beri NilaiLoading... Gubernur Sumatera Barat Sumbar.
Politik Adu Domba/Politik Pecah Belah atau devide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih ini dilakukan dengan cara menciptakan perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat, membantu mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat, mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat, serta mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad ke-15. Terkhusus di Nusantara, Politik Adu Domba banyak dilakukan oleh Belanda atau VOC untuk memecah belah antara kerajaan yang bertetangga, memecah belah seorang raja dengan putra-putranya, memecah belah kerajaan yang berdaulat menjadi beberapa kerajaan, memecah belah kelompok atau golongan, serta memecah belah antara orang yang bersaing memperebutkan politik adu dombaBerikut ini lima strategi Politik Adu Domba Belanda yang berhasil memecah belah kerajaan, penguasa, serta masyarakat di Kesultanan Gowa dan Kerajaan Bone Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar atau Gowa Gowa-Tallo telah terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone, persaingan tersebut sudah berlangsung semenjak awal abad ke-17. Persaingan antara kedua kerajaan tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Bone takluk pada tahun 1610 dan beradah di bawah hegemoni Kesultanan setengah abad kemudian, muncul salah seorang pangeran dari Kerajaan Bone yang Bernama Arung Palakka bertekat untuk membebaskan Kerajaan Bone dari hegemoni Kesultanan Gowa. Usahanya untuk membebaskan Kerajaan Bone dimulai dengan membebaskan seluruh orang Bone yang ditahan dan dipekerja paksakan di Gowa, tindakannya tersebut membuat Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh Sultan Hasanuddin marah dan mengejar Arung itu Arung Palakka melarikan diri ke Jawa. Di Batavia, Arung Palakka meminta bantuan Belanda VOC untuk membebaskan kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. VOC sendiri memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara, namun terhalang oleh Kesultanan Gowa sebagai pesaingnya. Tentunya VOC tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bisa menaklukkan Kesultanan Gowa, apa lagi telah mendapat bantuan dari kerajaan kemudian mengirim armada perang di bawah pimpinan Cornelis Janzoon Speelman bersama dengan Arung Palakka berangkat ke Makassar pada tanggal 24 November 1666, dan tiba di perairan Makassar pada tanggal 19 Desember pagi hari, tanggal 21 Desember 1666, dimulailah Perang Makassar, VOC mulai memuntahkan meriam dari kapal yang diarahkan ke benteng pertahanan Gowa, sementara Arung Palakka dan pasukan Bone menyerang dari arah darat. Sedangkan pasukan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan dengan gigih. Selama setahun peperangan, dalam keadaan terdesak, Sultan Hasanuddin kemudian dipaksa oleh VOC untuk menandatangai Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 sebagai tanda takluk kepada VOC. Stelah kekalahan Kesultanan Gowa, Hegemoni kekuasaan di Sulawesi berpindah ke Kerajaan Bone, sementara VOC dengan bebas memonopoli perdagangan di Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji di Kesultanan Banten Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Namun disaat yang sama, pengaruh Belanda VOC sudah semakin kuat di Nusantara, terutama setelah berhasil mengalahkan Kesultanan Gowa di itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Tentu saja Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian itu. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Ia kemudian banyak memimpin perlawanan-perlawanan terhadap di akhir masa pemerntahan Sultan Ageng Tirtayasa. Terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya untuk menjadi penerus raja menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Putranya yang bernama Sultan Haji begitu berambisi untuk segera menjadi Raja, namun tahta itu tidak kunjung diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC agar dirinya bisa segera dinobatkan menjadi raja, sebagi balasannya, VOC diberi kebebasan untuk memonopoli perdagangan di Banten. VOC yang menganggap Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penghalang dengan senang hati menerima tawaran dari Sultan mengetahui perilaku Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengepung Sultan Haji di Sorosowan Banten, VOC kemudian membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Sulatan Ageng Tirtayasa mundur dan terus melakuan perlawanan, sementara Sultan Haji dinobatkan menjadi Raja di Kesultanan Banten di bawah pengaruh tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Membagi Kesultanan Mataram Pada masa pemerintahan Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan gelar Sultan Agung, Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaan dan menjadi saingan utama VOC pada penguasaan perdagangan. Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, serta terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah Sultan Agung wafat, ia dimakamkan di Imogiri kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat Amangkurat I.Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram mengalami kekacauan dan kurang stabil karena banyak ketidakpuasan serta pemberontakan. Pada masa ini, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya. Untuk memadamkan pemberontakan ini, Amangkurat I terpaksa menjalin persekutuan dengan VOC yang awalnya merupakan pesaingnya. Dengan terjalinnya persekutuan ini, VOC bisa dengan bebas mencampuri urusan pemerintahan di Kesultanan I kemudian wafat pada tahun 1677 di Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pengganti Amangkurat II ialah Amangkurat III, namun VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC, sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi king in exile hingga tertangkap di Batavia ialalu dibuang ke Ceylon. Amangkurat III kemudian digantikan oleh Amangkurat IV, sementara Pakubuwana I digantikan oleh Pakubuwana mengakhiri kekacauan politik yang terjadi di Kiesultanan Mataram, maka pada masa pemerintahan Pakubuwana III diadakanlah Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi perjanjian itu adalah membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta selanjutnya berubah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kesultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Hamangkubuwana I yang merupakan putra Amangkurat IV, sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III. Berakhirlah era Kesultanan Mataram sebagai satu kesatuan politik dan Kaum Ulama dan Kaum Adat pada Perang Padri di Minangkabau Berawal dari beberapa ulama yang baru saja pulang dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, kembali dengan membawa pemahaman Wahabi atau reformis agama Islam yang ingin memurnikan ajaran Islam. Dengan munculnya sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri itu tentu bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang dijuluki Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Belanda yang melihat keadaan masyarakat Minangkabau yang mulai terpecah menjadikan ini sebagai kesempatan untuk menguasai wilayah Sumatra Barat. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang dan berlangsung sekitar 16 tahun. Perang Padri berakhir setelah beberapa pemimpin kaum Ulama berhasil ditangkap oleh Belanda, salah satunya yaitu Tuanku Imam Bonjol yang tertangkap pada tanggal 28 Oktober 1837. Denagn demikian, Perang Padri berakhir dan Belanda dapat menguasai wilayah Sumatra Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidilla di Kesultanan Banjar Bermula ketika putra mahkota Sultan Adam Alwasikh yang bernama Abdul Rakhman meninggal pada tahun 1852, sehingga terjadi konflik di dalam Kesultanan Banjar, di mana Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidillah berebut untuk mendudki tahta Kesultanan Banjar. Pangeran Hidayatullah didukung oleh kalangan istana, sementara Pangeran Tamjidillah mendapat dukungan dari tahun 1857, Sultan Adam Alwasikh akhirnya wafat, dengan segera Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi sebagai Sultan Banjar, sementara Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai Banjar ternyata tidak menyukai adanya turut campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan di Kerajaan Banjar sehingga timbul berbagai gerakan untuk menentang pemerintahan Tamjidillah. Salah satu gerakan itu dipelopori oleh seorang tokoh yang bernama Panembahan Aling. Pangeran Antasari yang juga merupakan sepupu dari Pangeran Hidayatullah ikut bergabung sehinggah pecah lah Perang Banjar pada tanggal 28 april keadaan yang semakin kacau dan tidak bisa dikendalikan, Sultan Tamjidillah mengundurkan diri dan menyerahkan kerajaan banjar kepada Belanda pada tanggal 25 juni 1859. Perang Banjar terus berlangsung antara Belanda dengan masyarakat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Perang ini kemudian berakhir setelah wafatnya Pangeran Antasari pada tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit paru-paru dan cacar. Dengan demikian, pengaruh Belanda semakin kuat di wilayah Kesultanan Banjar di Kalimantan.
- Secara harfiah, devide et impera dapat diartikan sebagai "pecah dan berkuasa". Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi. Caranya adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga mudah untuk konteks lain, devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Seiring waktu, devide et impera juga dikenal sebagai politik pecah belah atau politik adu domba. Baca juga Kebijakan-Kebijakan VOC di Bidang PolitikPolitik devide et impera di nusantara Devide et impera perama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda melalui VOC Vereenigde Oostindische Compagnie. Selain monopoli, salah satu siasat yang digunakan oleh VOC untuk menguasai nusantara adalah devide et impera. Politik adu domba bahkan dijadikan kebiasaan oleh VOC dalam hal politik, militer, dan ekonomi untuk melestarikan penjajahannya di Indonesia. Orientasinya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaklukkan raja-raja di nusantara. Strategi Belanda yang paling ampuh menghadapi perlawanan dari penguasa lokal adalah dengan meakukan politik adu domba.
belanda pernah melakukan politik adu domba di nusantara yaitu antara